Jawa Timur, Indonesia

Pengalaman pahit Indonesia dalam menghadapi krisis pangan terberat pada tahun 1964-1966 menjadi titik balik penting dalam sejarah ekonomi dan politik bangsa. Krisis tersebut tidak hanya menyebabkan kesulitan pangan yang mendalam tetapi juga memicu krisis ekonomi dan politik yang akhirnya menggulingkan rezim Orde Lama. Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, Orde Baru yang muncul pada tahun 1967 mengambil langkah-langkah preventif, terutama di sektor pertanian, yang menjadi fokus utama program pembangunan pada awal pemerintahannya.

Salah satu kebijakan pertanian yang paling signifikan dari Orde Baru adalah program Green Revolution atau Revolusi Hijau. Program ini berhasil meningkatkan produktivitas pertanian melalui penerapan teknologi modern dan penggunaan input pertanian yang lebih efektif, seperti benih unggul, pupuk, dan alat mesin pertanian. Hasil dari kebijakan ini cukup impresif, dimana pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras, sebuah prestasi yang diakui oleh dunia internasional, dan PBB memberikan penghargaan khusus kepada Presiden Soeharto atas pencapaian tersebut.

Namun, keberhasilan ini tidak datang tanpa konsekuensi negatif. Dalam pelaksanaan Green Revolution, perusahaan multinasional asing mendominasi penguasaan dan distribusi agro-input penting seperti benih, pupuk, dan alat mesin pertanian. Ketergantungan petani lokal pada perusahaan-perusahaan ini membuat mereka berada dalam posisi yang kurang menguntungkan, seringkali terjebak dalam siklus ketidakberdayaan ekonomi. Ketergantungan ini menjadi pemicu krisis multidimensional berkepanjangan yang mempengaruhi stabilitas sosial dan politik, serta menghambat kelangsungan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Dinamika Perekonomian dan Tantangan Sektor Pertanian

Refleksi terhadap dinamika perekonomian Indonesia selama beberapa dekade menunjukkan bahwa negara ini memiliki potensi besar untuk membangun dasar ekonomi yang kuat, khususnya di sektor pertanian. Namun, seperti yang diakui oleh Bank Indonesia, “di balik catatan-catatan keberhasilan itu juga disadari masih beratnya beban bawaan yang ditanggung sejak lama,” termasuk rigiditas struktural dalam perekonomian yang menyebabkan ketidakefisienan, membuang waktu dan sumber daya, serta menciptakan pengangguran dan kemiskinan yang semakin memprihatinkan.

Kondisi saat ini memperlihatkan fenomena paradoksal dalam ekonomi Indonesia, di mana pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Peningkatan kapasitas produksi yang terjadi belakangan ini lebih banyak bergerak ke sektor-sektor padat modal, yang mengakibatkan peningkatan angka pengangguran dan kemiskinan. Di sisi lain, risiko mikro dan distorsi dalam perekonomian juga semakin memperlebar jarak (decoupling) antara sektor keuangan dan sektor riil.

Perbankan di Indonesia menjadi semakin enggan menyalurkan kredit ke sektor riil, lebih memilih instrumen keuangan yang berisiko rendah seperti SBI dan SUN. Hal ini menyebabkan pembiayaan bank ke sektor riil menjadi sangat berkurang, menciptakan kondisi overlikuiditas yang tidak produktif dalam bentuk SBI outstanding yang mencapai lebih dari Rp200 triliun. Situasi ini memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang dan tergantung pada satu mesin saja. Jika kondisi ini terus berlanjut, akan sangat berisiko bagi stabilitas sistem keuangan dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Walaupun komitmen pemerintah terhadap pengembangan sektor pertanian relatif rendah, sektor ini masih menunjukkan daya tahan yang kuat. Selama krisis moneter dan ekonomi, sektor pertanian tetap mampu mencatat pertumbuhan positif sebesar 2,6%, sementara sektor-sektor lain seperti manufaktur, pertambangan, minyak dan gas, serta perbankan mengalami kontraksi yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian memiliki ketahanan yang lebih baik dibandingkan sektor-sektor lain dalam menghadapi krisis.

Undang-Undang Pokok Agraria dan Signifikansinya

Tanggal 24 September 1960 merupakan hari bersejarah bagi rakyat Indonesia, menandai lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Proses kelahiran UUPA ini memakan waktu yang panjang, dimulai dari pembentukan berbagai panitia agraria sejak tahun 1948 hingga diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) pada tahun 1960.

UUPA memiliki dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA merupakan upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua, UUPA menandai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang lebih mencerminkan realitas kehidupan rakyat Indonesia.

Tujuan utama dari UUPA adalah meletakkan dasar-dasar untuk penyusunan hukum agraria nasional, menciptakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua ini bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama petani, menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Namun, implementasi UUPA dan kebijakan landreform mengalami banyak hambatan dan rintangan, terutama karena pandangan-pandangan politik yang menyebutnya sebagai produk ‘Komunis’. Realitas penderitaan rakyat tani sepanjang sejarah menunjukkan pentingnya transformasi kehidupan dan sistem sosial menuju penghidupan yang lebih baik. Melaksanakan pembaruan agraria sejati berdasarkan UUPA merupakan langkah yang tepat untuk membebaskan rakyat tani dari ketidakadilan struktural yang merupakan warisan feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme.

Kebijakan pertanian di Indonesia telah melalui berbagai dinamika dan tantangan. Program Green Revolution membawa keberhasilan yang signifikan namun juga menghadirkan masalah baru dalam ketergantungan pada perusahaan multinasional. Di sisi lain, UUPA menawarkan dasar hukum untuk mencapai keadilan agraria namun menghadapi tantangan dalam implementasinya. Meskipun demikian, keberlanjutan sektor pertanian menunjukkan pentingnya sektor ini dalam ekonomi nasional dan perlunya kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan untuk masa depan yang lebih baik bagi petani dan bangsa Indonesia.

Indonesian