
Selain itu, paradigma pembangunan ekonomi yang ada sering memposisikan pembangunan perkotaan dan pedesaan dalam suatu neraca kompetisi. Sayangnya, kompetisi ini cenderung lebih menguntungkan penduduk perkotaan. Akibatnya, meskipun tujuan awal adalah untuk memperbaiki kondisi di pedesaan, pada kenyataannya hal ini justru mendorong laju urbanisasi. Proses urbanisasi yang tak terkendali ini kemudian memperluas masalah kemiskinan, tidak hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan, di mana kemiskinan perkotaan menjadi semakin meningkat.
Berbagai masalah multidimensi yang saling terkait di sektor riil tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan insidental semata atau dengan hanya mengandalkan kebijakan makro seperti subsidi (pupuk, benih, atau bunga bank). Pengalaman selama beberapa dekade menunjukkan bahwa kebijakan subsidi yang tidak didukung oleh manajemen organisasi petani yang kuat tidak mampu menjamin peningkatan produktivitas dan gagal mengatasi persoalan kemiskinan secara fundamental.
Belajar dari Pengalaman Negara Lain
Melihat pengalaman negara-negara yang berhasil membangun sektor pertanian mereka, seperti Amerika, Jepang, Korea, China, dan Thailand, terdapat satu kesamaan penting: kebijakan makro ekonomi mereka selalu berperan dalam mendorong dan mengamankan dinamika korporasi di sektor pertanian. Jika kita belajar dari realitas ini, maka seharusnya kita tidak membiarkan usaha pertanian hanya diserahkan kepada petani yang masih dalam kondisi terbelakang dan bekerja sendiri, apalagi saat mereka harus berhadapan dengan petani di negara-negara maju yang telah diorganisir dengan manajemen korporasi yang sangat baik dan kuat di era perdagangan bebas.
Negara-negara maju seperti Jepang sangat memahami pentingnya swasembada pangan. Meskipun telah mencapai kemajuan sebagai negara pasca-industri, kebijakan pertanian mereka tetap sangat tegas dalam membela eksistensi petani dan pertanian mereka. Begitu pula dengan Amerika Serikat, walaupun hanya 3% dari penduduknya terlibat langsung di sektor pertanian, pemerintah Amerika sangat membela kepentingan pertanian mereka. Tujuannya adalah untuk tetap menjadi kontributor pangan terbesar di dunia, dengan menyuplai lebih dari 50% kebutuhan pangan dunia.
Di sisi lain, Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris dengan luas lahan pertanian lebih dari 53 juta hektar, masih terjebak dalam kelaparan dan kemiskinan struktural. Hal ini menunjukkan adanya paradoks kebijakan yang harus segera diatasi.
Mendorong Kebijakan yang Tepat dan Efektif
Untuk mengatasi paradoks ini, sangat penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengimplementasikan kebijakan yang lebih tajam dan terfokus dalam memperbaiki kondisi distorsi dan risiko mikro di sektor riil. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki iklim investasi secara menyeluruh, termasuk mempercepat perbaikan infrastruktur dan memastikan ketersediaan modal yang lebih terjamin. Langkah-langkah ini diharapkan mampu menghindarkan kita dari paradoks kebijakan seperti beberapa keputusan pemerintah atau menteri yang bertujuan menolong petani, tetapi pada kenyataannya gagal, seperti kebijakan impor gula, tata niaga cengkeh, jeruk, kopra, rotan, dan lainnya.
Pasar domestik kita juga telah terbiasa dengan produk impor, padahal, jika pembeli dari bangsa sendiri mau membeli produk lokal meskipun harganya lebih mahal, ini dapat menimbulkan efek manfaat berantai di dalam negeri. Implementasi kebijakan yang tepat dan efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak pada petani dan nelayan serta mampu meningkatkan kemandirian pangan nasional.
Hadirnya GERAKAN NASIONAL TANI KEMANDIRIAN PANGAN (Genta Pangan) adalah salah satu langkah yang tepat untuk mendorong kemandirian pangan dan memastikan keberlanjutan sektor pertanian di Indonesia. Dengan fokus pada penguatan organisasi petani, peningkatan akses pasar, dan dukungan kebijakan yang pro-pertanian, Genta Pangan dapat menjadi solusi nyata dalam mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi oleh petani Indonesia.
