Kedua, adalah model koperasi yang berkembang secara mandiri di pasar tanpa campur tangan langsung dari pemerintah. Contohnya adalah di negara-negara sosialis seperti RRC, di mana koperasi berfungsi sebagai sektor pendamping dari sektor negara. Di sini, koperasi bertujuan untuk mencapai pasar yang adil, berfungsi sebagai organisasi swadaya (self-help organization), dan membantu masyarakat desa dalam menanggulangi kemiskinan.
Gagasan dasar mengenai koperasi ini berfokus pada pencapaian keadilan ekonomi melalui mekanisme swadaya, yang tidak hanya membantu meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi, tetapi juga bertujuan untuk meningkatkan kemandirian ekonomi di kalangan masyarakat bawah. Koperasi diharapkan dapat menjadi solusi untuk menghadapi masalah ketimpangan ekonomi dan sosial yang masih terjadi di berbagai daerah.
Pemerintah Indonesia seharusnya memahami dinamika yang terjadi dan mengambil inisiatif untuk mendorong gerakan koperasi agar lebih dari sekadar mercusuar kebersamaan. Sudah saatnya koperasi didorong untuk berperan sebagai lokomotif manajemen yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi. Namun, ini tetap harus dilakukan di bawah pengawasan pemerintah agar sistem koperasi dapat berjalan dengan baik dan jauh dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Dengan manajemen koperasi yang baik, diharapkan produktivitas dapat meningkat dan kualitas produk dapat bersaing di pasar global. Ini sangat penting mengingat usaha petani yang bersifat individual sangat tidak efisien. Sebagai contoh, penerapan teknologi seperti bioteknologi pertanian, mekanisasi, dan penanganan pasca panen di Indonesia masih belum maksimal, sehingga produktivitas nasional hanya mencapai sepertiga dari kapasitas sebenarnya.
Sebagai perbandingan, rata-rata produksi beras di negara maju seperti Jepang, China, Korea, dan Amerika Serikat dapat mencapai 12 ton per hektar, sementara di Indonesia hanya sekitar 5 ton per hektar. Demikian pula dengan rendemen tebu; di Thailand dan Brazil, angka rendemen bisa mencapai 15%, sementara di Indonesia hanya berkisar antara 6-9%. Hal ini menunjukkan bahwa ada kesenjangan yang signifikan dalam hal produktivitas dan efisiensi pertanian antara Indonesia dan negara-negara maju lainnya.
Rendahnya rendemen gula di Indonesia sangat dipengaruhi oleh efisiensi pabrik gula dan pengolahan pasca panen. Selain itu, biaya pengolahan juga menjadi faktor penting. Sebagai contoh, di Vietnam, petani tebu hanya dikenakan bunga kredit sebesar 1,5%, di Thailand 1,3%, dan di Brazil hanya 1,1%. Sementara itu, di Indonesia, bunga kredit untuk petani tebu masih berada di kisaran 6-7%, dan itu pun hanya bagi petani yang menjadi binaan pihak perbankan. Oleh karena itu, perhatian yang lebih besar terhadap petani tebu menjadi prasyarat penting untuk mencapai swasembada gula.
Untuk mencapai swasembada gula, Indonesia harus mengandalkan petani tebu lokal dan bukan dengan cara mendirikan pabrik gula rafinasi yang mengimpor gula mentah. Selain itu, masalah pasca panen seperti kehilangan volume panen beras akibat penyusutan mencapai 3% juga harus diatasi. Jika produksi beras nasional mencapai 30 juta ton per tahun, penyusutan ini setara dengan kehilangan sekitar 900.000 ton beras. Dengan harga Rp 8.000 per kilogram, kerugian ini bisa mencapai Rp 7,2 triliun. Kehilangan penghasilan dari beras yang pecah juga menurunkan nilai jual menjadi sekitar Rp 2.000 per kilogram, yang jika diakumulasi dengan jumlah beras pecah sebesar 4,5 juta ton, nilai kerugian mencapai sekitar Rp 9 triliun.
Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, koperasi perlu mengadopsi pendekatan budaya korporat (Corporate Culture) yang memungkinkan pemberdayaan profesional dari berbagai disiplin ilmu dan latar belakang pengalaman yang ada di tanah air. Hal ini bertujuan untuk memaksimalkan kapasitas dalam mengimplementasikan makna kebersamaan di bawah satu atap manajemen sebagai instrumen yang dapat secara efektif menata kebijakan dan strategi organisasi petani atau pertanian nasional, serta sektor riil lainnya untuk mendapatkan kepercayaan (trust) dari pasar dan para pemangku kepentingan lainnya.
Dengan manajemen koperasi yang baik, petani Indonesia dapat memiliki daya saing tinggi. Demi menjaga martabat bangsa sebagai negara agraris, Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangan bangsanya sendiri dan mengembalikan perannya sebagai paru-paru dunia sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Millennium Development Goals).